Minggu, 12 Juli 2015

My little diary



Dear ‘the silent night sky’,

Tadi kulihat Sang Bulan sekitar pukul 6 sore. Langit masih biru cerah tersapu sedikit merahnya senja. Dalam hati aku berkata, “Ah, besok pasti indah, seperti biasa! Aku ingin menikmatinya dari awal! Tapi...” Aku tiba-tiba bersin. Haahh..flu. Bagaimana bisa aku menikmati indahnya bulan esok hari, ditemani deburan ombak, membawa kenangan lama. Cuaca sangat tidak bersahabat. Sungguh, awal Juli yang ‘cukup berkesan’.
Satu bulan, tepatnya 30 hari kemarin aku sudah kembali berjuang. Menjelang akhir bulan hatiku gelisah, ternyata ada sebabnya, tapi aku ragu apa benar itu sebabnya. Aku pernah mengirimi pesan singkat untuk-mu yang bunyinya,
“Bulan mei-juni aku tunggu. Aku yakin aku sudah berubah. Aku ingin kamu yang merasakannya. Dan bila tidak kau sambut baik, mungkin ini akhirnya.”
Tanpa ku sadari, semua orang-orang di dekatku, dan yang dekat denganku, terkena imbas dari kegalauanku. Maaf. Aku tak berdaya. Pun tak ada maksudku untuk menyinggung atau membuat kesal, justru akulah yang sedang gelisah. Namun, saat ku ceritakan padamu, ku tanyakan mengapa, aku malah mendapat jawaban yang ‘menghakimi’.
“Belajarlah dari hubungan kita yang dulu, yang gak akan pernah kembali.”
Begitu pesimisnya kata-katamu. Tidak tajam, tapi membekas. Aku semakin gelisah dan bertanya-tanya dalam hati, “Apa ini akhirnya...?” Padahal, aku masih bertahan berdiri di atas satu titik yang hampir tak mungkin seseorang bertahan untuk berdiri. Semua karena apa yang aku yakini, dan apa yang kusebut upaya.
Akhirnya motorku tiba di tempat tujuan. Tapi sayang sia-sia. Masih ada hari esok untuk bimbingan dengan dosen. Hal ini langsung menjadi renunganku. Meskipun kita telah berupaya, dan sekalipun itu terlambat, masih ada kesempatan jika kita mau mengambilnya. Setiap hari yang baru adalah kesempatan baru. Benar kan?
Ku pacu lagi motorku ke arah berlawanan. Kini jauh, untuk rejeki kecil. Sesampainya disana, senyum hangat itu kusambut dengan tangan dan kakiku yang kedinginan. Lalu aku duduk menunggu. Seperti tak pernah bosan aku menunggu. Aku pernah menunggu berbagai hal, mulai dari bekal, giliran, gaji, bus, antrian, bahkan sesuatu yang ‘tidak pasti’. Wah, kau datang! Tapi yang ku tunggu adalah adikmu, dialah yang membutuhkan bantuanku. Tapi, aku harus tegar! Senyumku biasa melihatmu, juga karena kondisi kesehatanku yang sedang menurun. Tatapan itu, ntah aku senang, sedih, marah, atau kecewa, saat melihatnya.
Haah..orang yang ku tunggu tiba. Sedari tadi, kau memperhatikan kesehatanku, mulai dari memeriksa suhu badan, telapak tangan dan kaki, sampai menanyakan apa aku sudah makan dan minum obat atau belum. Perhatian itu, layaknya kau dulu jadi kekasihku, namun saat ini perhatian itu hanyalah dari ‘seorang kakak’. Ya, kau tetap bersikeras dengan kemauanmu itu, tanpa memikirkan perasaanku. Apa aku terlalu perasa...? Ya, aku adalah tipe wanita yang sensitive (baca: perasa).
Tak sengaja kau tinggalkan ponselmu di atas meja dimana aku menerjemahkan tulisan-tulisan itu. Ku lihat wallpaper yang menghiasinya. Ada 2 wajah bahagia yang sedang melihat ke arah kamera. Ya, siapa lagi? Kau dan dia. Momen beberapa detik itu membuatku kepikiran, bahkan sampai saat aku menulis ini. Kesalahan apa yang ku perbuat, hingga harus seperih ini ku jalani hari-hari ku...? Dalam hatiku yang kuat namun rapuh, aku tetap bertanya:
“Is this what I really deserve...?”
Siang tadi, hawa dingin bertemu teriknya matahari, aku berkendara pulang. Perjalanan yang tidak sebentar, dan ya, seperti biasa, aku suka melamun dalam perjalanan. (Tenang, selalu sampai tujuan yang tepat, dengan selamat) Tak sadar ku titikkan air mata. Aku teringat dirimu. Aku mengingat semua, seperti cuplikan-cuplikan peristiwa yang telah berlalu. Aku melihat lagi, hari itu, ketika ku temukan pesan singkat mesra dari seorang wanita, yang menjadi kekasihmu saat ini. Tak sepatah kata pisah pun terucap dari bibirku saat itu, meski kekecewaan terbaca jelas di mata, dan raut wajahku. Kau mendua... Aku juga melihat cuplikan peristiwa saat pesan darimu muncul di layar ponselku, setelah 2 bulan lamanya. Aku ingat bagaimana kau saat itu menangis di pelukanku, menandakan kerinduan dan penyesalanmu, sehingga aku mau kembali “mengupayakan hubungan kita”.
Tapi...
Aku merasa kecewa. Tidak sepantasnya aku mendapat perlakuan seperti ini. Sakit, hatiku rasanya diiris tipis. Sebegitu besarnya kah kesalahanku sampai aku mendapat perlakuan seperti ini? Apa kau merasa apa yang kau lakukan sudah benar? Mengapa...mengapa saat itu kau tunjukkan bahwa kau masih ingin bersamaku, tapi kau juga tak ingin melepas dia? Bahkan..aku harus mendengar berita keseriusan hubungan kalian, langsung dari bibirmu. Apa itu taktikmu untuk “kembali menjauhkanku”? Aku berjuang, memperlihatkanmu bagaimana aku berkembang selama 2 bulan terakhir. Aku berusaha mengayomimu, memaklumi kondisimu, menghargai keputusanmu, bahkan memberi masukan saat kau berselisih dengan kekasihmu. Salahkah..? Apa aku salah lagi..?
Aku tak tahan lagi. Ya, aku egois, tapi keegoisanmu telah membutakan mata hatimu, menulikan indra pendengaranmu. Saat ini, kau hanya seseorang yang buta dan tuli. Seberapapun aku berupaya, kau tidak melihatku. Seberapapun aku meyakinkanmu, tidak kau dengar. Perasaanku, jangan pernah dianggap sebercanda ini...
Air mataku semakin deras saat ku ingat malam itu, malam terakhir aku bertemu denganmu, dan bicara dengan orang tuaku. Tak cukup kah kau membuatku malu di hadapan kedua orang tuaku..? Tak cukup kah kau membuat kedua orang tuaku berpikir seolah-olah mereka gagal mendidikku, sehingga berujung hubungan yang berakhir..? tak cukup kah ku terima ajakanmu ‘bersaudara’ ketika hati ini masih memanggil-manggil namamu..?
Dilema..hanya itu yang memenuhi pikiranku. Ada yang bersuara untuk tetap dalam kondisi seperti ini dan tetap meyakinkan dia; ada pula yang bersuara agar tetap menjalin komunikasi, tapi jangan terbawa perasaan lama; dan ada pula yang bersuara “menghilanglah, seperti saat lalu..”
Satu pintaku, tidak, harapanku, jangan membunuh keyakinan dan harapan seseorang. Semasih seseorang memiliki harapan, di situlah dia akan berusaha. Aku tak akan berhenti berharap, aku akan mengupayakan yang terbaik yang aku bisa. Aku percaya, karena salah seorang kawanku berkata:
“Change doesn’t happen overnight. It takes time.”
Semoga, ketika ‘waktu’ itu ‘tiba’, kau tak terlambat menjemputku...
Akhirnya, sudah ku putuskan!

Selamat malam...