Selasa, 21 Juni 2011

This is WHAT I wanna JUST share

Well, as what I told you. I have many thoughts in my head but when I come to write about it, it just like disappear and now none in my fucking briliant head XD *just kidding*

okay, here we go :)

UN -
Success or Miserable?

As we know, every students have to pass something called "National Examination" on their last time at certain stage of education (Elementary Sch, Junior High, Senior High). The passing grade/score is always increasing each year and undirectly make the students hard to pass it, while the subjects are getting hard every year. The sad fact that this program cause many students commit suide every year, the students who failed on the exam. Also the exam is not clear. It means that there's cheating when the exam is on progress. It can be the teacher who lack the answers to one student then to another. So, is this what we want? Or is this what the government want to success the education in Indonesia? Isn't it just killing those students? Both in education and morality?
Well it's not the government's fault, and neither the student's. (It's just my opinion, okay? :)) But let come and think about it. Look at the students in inland or remote area. The teachers are less than in the city. In this case, the percentage of the students who will pass the exam is so small. I mean, the facilities and the infrastructure tha support the education in remota area is limmited. For example : the books, the teachers, the transportation, the school, and even the school fee is too much for them.
Back to National Examination :). I personally think it's better if we know in which area we are better then we continue our study about it. It's much worth than UN which the subjects aren't always needed for students who will continue the study out of the area of the subjects of the UN. (whoaa XD) I mean, every students may continue their study wherever they want with their talent and their will and believe without putting an end to their life if they fail in National Examination (UN). Then if they already success on their study and get the job as what they want, the number of poverty in this country can be decreased :).
I know it's not that easy to prove it but give it a try. There's no more National Examination or "Students Killing Machine". Let the teacher give the score by watching their daily activities at school and discover their talent. If it does, the students may graduate and continue the studies to whatever they want, as long as it gives benefits both for them and their country.

well, that's it. I just wanna share to you what's on my brain ;). Have a good time, guys (',^)v

Rabu, 01 Juni 2011

Masyarakat, Remaja, dan Generasi Penerus Bali Dalam Multikulturalisme

Indonesia jelas adalah sebuah negeri multikultural (multibudaya). ‘Bhinneka Tunggal Ika’ memuat idealitas multikulturalisme. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Seperti yang kita ketahui, Bali sangat dikenal dengan budayanya yang indah, unik, dan beragam. Tak lupa juga dengan keramah – tamahan masyarakat Bali yang semakin membuat penasaran wisatawan mancanegara untuk berwisata ke Bali. Nah, bagaimanakah kehidupan multikulturalisme masyarakatnya? Bagaimana remaja Bali menanggapi multikulturalisme? Apa faktor yang membuat keharmonisan masyarakat bali dengan masyarakat dan budaya pendatang tetap terjaga? Bagaimana dengan multikulturalisme pada anak – anak?

Keramah – tamahan masyarakat Bali merupakan bentuk budaya multikulturalisme dimana masyarakat Bali sangat toleransi dalam menerima budaya baru yang masuk. Budaya tersebut dapat berupa tari, pakaian, makanan, nyanyian, dan sebagainya. Namun bukan berarti masyarakat Bali langsung mengaplikasikan budaya – budaya baru tersebut ke dalam kehidupannya tanpa mengidentifikasi kebaikan dan keburukan daripada budaya tersebut bila diterapkan. Misalnya saja bakso (dari Jawa). Meskipun kini bakso menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Bali, namun masyarakat Bali telah mengeluarkan produk olahan baru dari bakso yang bisanya berbahan dasar ayam atau sapi tersebut. Namanya adalah “bakso nyama Bali” yang berbahan dasar daging babi. Kemunculan bakso nyama Bali ini pun tak hanya terinspirasi dari bakso dari luar Bali, melainkan dari isu bahwa bakso yang tangah beredar di Bali telah dicurangi oleh para pembuatnya denagn menggunakan bahan dasar daging – daging busuk. Mneyingkapi hal tersebut, timbullah kreativitas masyarakat Blai untuk membuat kreasi sendiri yaitu bakso nyama Bali. Itulah kehidupan multikulturalisme masyarakat Bali pada umumnya beserta contohnya.

Terlepas dari masyarakatnya, kini beralih ke remaja Bali dalam kehidupan multikulturalisme dan aksi – reaksinya. Remaja, dimana pada tahapan ini manusia mengalami gejolak emosi yang labil dan kerap kurang terkontrol. Emosi yang labil dan kurang terkontrol ini menyebabkan remaja terkadang cenderung berbuat seenaknya. Berbicara tentang remaja dalam multikulturalisasinya, saya nilai masih ada kekurangan. Kekurangan tersebut adalah bagaimana beberapa remaja yang berperilaku tidak baik akan budaya remaja lain sebaya mereka. Salah satunya yaitu sikap remaja yang cepat terhasut. Lihat saja contoh kasus bom Bali. Bali bahkan dunia pun tahu bahwa pelaku bom Bali tersebut adalah bukan orang Bali. Namun hal itu membuat remaja berasumsi bahwa orang luar Balilah yang patut disalahkan. Lihat saja bagaimana mereka biasanya mengejek kawan – kawannya yang berasal dari luar Bali. Walaupun terlihat bercanda namun itu merupakan suatu tindakan yang membedakan orang bali dengan orang luar bali. Ditambah lagi dengan pemberitaan kekerasan orang Bali terhadap orang luar Bali. Pemberitaan itu membuat remaja berpikir bahwa orang luar Bali memang patut disalahkan. Padahal semua pikiran itu adalah salah. Keadaan emosi remaja masih sangat labil. Jadi mereka bisa saja dengan gampang terpengaruh untuk ikut-ikutan menyalahkan orang luar Bali. Sebaiknya remaja mulai memahami bahwa orang yang telah meledakkan bom di bali hanya segelintir kecil teroris saja. Itu bukan berarti orang yang seagama dengan teroris akan melakukan hal yang sama. Kita tidak boleh terlalu berburuk sangka terhadap luar. Jika hal itu tidak dipahami maka sikap multikultur remaja akan luntur.

Bentuk – bentuk multikulturalisme yang dapat kita lihat dari remaja Bali ini sangat beragam, mengingat remaja juga cepat merasa bosan dan cenderung ingin mencoba sesuatu yang baru. Seperti yang saya rasakan, contohnya yaitu adanya sirkus yang berasal dari Rusia. Keberadaan sirkus ini ternyata cukup menarik perhatian remaja, sehingga kini ada beberapa tempat kursus acrobat bagi yang memiliki minat mempelajari gerakan sirkus. Contoh lain misalnya tarian. Meskipun tarian ini berasal dari daerah lain (misalnya tari Tor – tor dari Sumatera Utara), namun bagi yang mempunyai ketertarikan pada tarian – tarian dari daerah lain akan menyenangkan apabila mempelajari tarian tersebut. Begitulah remaja kita dalam multikulturalisasi, sama dengan masyarakat pada umumnya namun lebih ke hobi.

Di balik itu semua, multikulturalisasi masyarakat dan remaja Bali, sebenarnya ada konsep dari Agama Hindu (Hindu Dharma) yang menyebabkan multikulturalisme di Bali berjalan dengan baik. Apakah konsep itu? Ialah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana ,berasal dari bahasa sansekerta. Dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia. Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Pembagian Tri Hita Karana yaitu “parahyangan” yang artinya hubungan antara manusia dengan Tuhan, “pawongan” yang artinya hubungan manusia dengan manusia, dan”palemahan” yang artinya hubungan antara manusia dengan alam. Hal inilah yang menjadikan multikulturalisme di Bali berjalan dengan baik dan tanpa ada masalah atau konflik yang berarti, seperti bentrok karena budaya baru yang masuk ke dalam suatu daerah dan tidak disukai atau diterima oleh penduduk local. Dengan adanya konsep ini, masyarakat Bali dengan mudahnya menjaga keharmonisan di antara masyarakat pendatang dengan budaya baru yang berdatangan pula.

Tidak hanya konsep Tri Hita Karana, masyarakat Bali juga terbantu dengan adanya ajaran Hindu Dharma mengenai Tat Twam Asi. Tat Twam Asi berasal dari bahasa Sansekerta yang mana “tat” artinya dia atau itu, “twam” artinya engkau atau kamu, dan “asi” artinya adalah. Jadi, Tat Twam Asi artinya “Dia adalah Engkau”. Tat Twam Asi mengajari tentang bagaimana kita untuk saling mengasihi sesama makhluk ciptaan Tuhan. Dengan begitu, masyarakat Bali tidak pernah mendiskriminasi adanya budaya baru yang memasuki Bali. Meskipun manusia memiliki begitu banyak perbedaan, tetapi kita seharusnya bisa menyikapinya secara positif yang dalam artian bisa menghargai setiap orang tanpa kita harus melihat siapa dia, dari suku mana, dari pribumi atau non- pribumi, dengan begitu semua yang memiliki perbedaan akan bangga dengan kebudayaannya, dengan kelebihannya, dengan ke “khas” an daerahnya masing – masing dan akan tercipta rasa bersatu karena semua saling menghormati satu dengan yang lainnya.

Nah, tadi sudah saya bahas untuk masyarakat Bali dan remaja Bali dalam multikulturalisasinya, aksi dan reaksinya terhadap budaya yang baru masuk dan perilaku remaja yang masih labil dalam hal multikulturalisasi. Sudah pula dijelaskan mengenai konsep – konsep apa saja yang membuat multikulturalisme di Bali tetap berjalan dengan baik. Lalu bagaimana dengan generasi penerus kita? Apakah anak – anak sudah paham dengan multikulturalisme? Sebenarnya sangat perlu menanamkan paham tentang multikulturalisme sejak usia dini, mengingat Indonesia memiliki beragam kebudayaan dari Sabang sampai Merauke, dari nias hingga Pulau Rote. Cara – cara yang ditempuh untuk menumbuhkan rasa toleransi anak – anak haruslah menarik agar dapat diserap dan diingat untuk selamanya, karena ingatan masa kecil sangatlah kuat. Buku pedoman bagi fasilitator anak dapat dipahami dan digunakan untuk memandu diskusi. Pelatihan anak dengan metode bermain, menonton VCD dan diskusi dapat membuat anak lebih berani tampil di depan umum, percaya diri, dapat menghargai orang lain, dan dapat melihat kekurangan diri. Event sangat efektif untuk membentuk kerja sama siswa, mengekspresikan perasaan siswa, dan siswa dapat memberikan apresiasi terhadap karya orang lain. Nilai-nilai yang diajarkan dalam model pendidikan multikultural ini dapat diterapkan oleh siswa dalam kegiatan sehari-hari.

Setelah memberikan nilai – nilai toleransi beragama, kini adalah saat melihat prakteknya. Ternyata meskipun masih terbilang “anak kecil”, namun toleransinya bisa lebih besar dari yang sudah remaja maupun dewasa. Sebagai contoh kecil, pengalaman saya. Ketika saya mengeritik suatu budaya yang disiarkan di televisi, adik saya malah menasehati agar tidak mencemooh budaya orang lain. Dari sanalah saya beranggapan mengapa sikap toleransi dalam multikulturalisasi penting sekali diajarkan sejak kecil.

Dewasa ini begitu banyak budaya – budaya asing yang memasuki wilayah Bali. Iman yang kuat demi menjaga budaya asli merupaka tanggunga jawab bersama baik anak – anak, remaja, maupun seluruh anggota dan lapisan masyarakat Bali. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa contoh nyata, yaitu mulai bermunculan berbagai restoran yang menyajikan masakan khas masing – masing daerah atau negara, remaja mulai mencontoh budaya luar negeri dalam berpakaian, makanan, gaya hidup, bahkan pergaulan dan asmara. Oleh karena itu, pintar – pintarlah kita memilah – milah mana kebudayaan yang masih bias disesuaikan dengan budaya asli kita. Budaya – budaya baru tersebut tidaklah harus kita terapkan demi tercapainya kata “up to date” atau “modern” atau “gaul” pada istilah remaja. Belum ada kata terlambat untuk memilah mana yang harus kita pilah, mana yang harus kita jaga dan lestarikan, dan bagaimana kita harus bersikap pada budaya baru agar tidak menyinggung budaya tersebut. Semua itu dapat terwujud apabila kita memahami Tat Twam Asi dan selalu menjaga hubungan kita dengan orang lain, baik yang satu budaya maupun dari budaya lain.

Nah, itulah semua tentang masyarakat, remaja, dan generasi penerus Bali dalam multikulturalisme. Alangkah baiknya sikap toleransi yang sederhana mulai diterapkan panak anak sejak dini, agar multikulturalisme tidak luntur dan tetap dapat menjaga keutuhan bangsa kita ini yang “Bhineka Tunggal Ika”. Seperti yang telah disebutkan, kita harus pandai memilah – milah budaya yang masuk dan memilih tindakan yang tepat dalam menanggapinya agar tidak menyinggung orang yang memiliki budaya tersebut. Sebagai sebuah wilayah dan masyarakat yang sangat tergantung pada sektor pariwisata, mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat Bali harus siap mengadopsi dan mengembangkan konsepsi pluralisme dan multikulturalisme.


Semoga bermanfaat ya tulisan (pertama) saya :)