"Dewi Kali, berapa kali hamba harus memohon untuk dibawa ke akhirat...?"
Kemarin, tepatnya hari Kamis, 21 Juli 2016, tanganku bergetar, hatiku bergetar, amarahku di luar kendali. tak ku sangka, helm seharga 200ribu menjadi pemicu emosiku kemarin.
Helm itu ku hilangkan saat aku ditraktir menonton di bioskop. Saat itu aku tidak berencana menonton karena aku tidak punya cukup uang. Aku pergi ke bioskop untuk mengatakan kepada mereka kalau aku akan ke toko buku saja, membaca buku yang segelnya sudah terbuka. Siapa sangka, aku ditraktir menonton. Karena tiada berencana menonto, helm adikku, helm-motor-matic-kekinian kondisi baru seharga sekian itu kuletakkan saja di atas motor. Aku akan kembali sebentar lagi, begitu pikirku. Aku lupa dan terbawa suasana obrolan bersama mereka. Sampai akhirnya selesai menonton, kami makan, lalu pulang. Saat itu lah aku menyadari bahwa helm ku telah ditukar. Sesampai di rumah, aku minta maaf pada adikku, dan belum memberitahu ibuku. Aku memang akan mengatakannya, tapi saat kondisi suasana hatinya sedang baik. Bukankah niatku baik? Aku juga berjanji akan menggantinya untuk adikku.
Seingatku, aku sudah memberitahu ibuku secara tidak langsung ketika temanku menjemputku untuk pergi. Aku ingat betul, ibuku bertanya "kenapa helm nya?" aku jawab "ditukar sama orang, nanti ta' ganti..nanti ta' ceritain.."
Kemarin, pikiranku memang sedang kusut. Aku juga lelah setelah mengajar, memang tidak selelah mereka yang bekerja, tapi aku lelah bukan karena tidak melakukan apa-apa. Kala itu aku sedang menonton tv dari dalam kamrku, lalu ibu datang dengan wajah masamnya langsung menanyakan helm itu. "Kenapa bisa gitu helm nya?" Sebelumnya, dia juga sudah mengirim SMS saat aku mengajar tadi, menayakan helm, dan sudah ku jawab. Mana tau kalau hp nya mati? Aku yakin dia hanya mencari-cari kesalahanku, seperti biasa. Karena, setahuku, setiap pesan yang terkirim artinya pesannya sudah masuk dan hp orang itu sedang menyala (pengalaman ini sudah ku buktikan).
Nah, saat dia menanyakan hal itu lagi, aku merasa tersinggung dan kesal. Dengan nada kesal, ku jawab bahwa sudah ku balas di sms tadi, dan aku juga minta tolong kalau baru datang dari luar, tegtegin bayu dulu (tenangkan diri, duduk), jangan langsung bertanya dengan nada seperti itu. Dan, pertengkaran memanas dari sana. Aku menggerutu bahwa semua dinilainya dari uang. Benar saja. Sadar atau tidak, dia kemarin bilang "gak usah munafik! kita semua perlu uang!". Aku kesal karena dia selalu mengkait-kaitkan hidupku dengan uang. Tapi di ma;ah tersinggung dan bicara dengan nada tinggi alias nengkik (Bahasa Bali) "Hei kamu! Jangan asal ngomong kamu ya?!" Lalu agar masalah selesai, aku samperin dia ke kamar adikku, maksudku agar bisa bicara 4 mata, bukannya darti bilik ke bilik. Dia selalu mengalihkan situasi, agar bisa saja menyalahkan orang lain.
"Tolih to panakmu! (menunjuk ajikku) Nyen ada panak bani nengneng matan nak tua yen ngomong?! misi nelik!! Tolih to hasil didikanmu!!"
"Lihat anakmu! Mana ada seorang anak berani menatap mata orangtua ketika bicara?! Lihat hasil didikanmu!"
Aku tidak terima. Menurutku ibuku sudah sangat keterlaluan. Dimana-mana juga, seorang perempuan, seorang istri harus hormat dengan suami. Sering kali aku melihat ibu campah (berani) sama ajik (bapak). Aku tidak membela ajikku atau siapa pun! Kau tau? Kala itu semua sedang di rumah. Adik-adikku bahkan yang paling kecil menangis, apa dia tidak memikirkan hal itu?? Apa hanya emosinya saja yang dia pikirkan?? Apa hanya demi menyalahkan aku, dia merasa benar melakukan semua itu?? Tidakkah dia berpikir bahwa semua itu bisa menjadikan trauma ataupun dicontoh secara tidak sadar oleh adik-adikku??
Banyak percakapan penuh emosi terjadi antara aku dan ibuku. Ajikku dan adikku berusaha melerai, tapi aku tidak bisa menahan diri atas segala ucapan-ucapannya yang tidak benar. Aku, memang pernah sangat durhaka. Tapi aku sudah menyadari dan tengah, masih, berusaha memperbaikinya dengan bersabar dan mengalah. Ntah setan apa yang memenangkan kondisi rumahku kemarin malam.
Ibuku selalu mengingat hal yang berlawanan denganku, dan dia selalu mengucap sumpah kalau yang diucapkannya itu benar dan dia tidak salah ingat.
Terlalu banyak ucapan-ucapan kemarin yang bahkan membuatku menitikkan air mata saat menulis ini, karena mengingatnya pun membuat dadaku sesak.
Saking tidak tahannya, setelah dilerai kemarin, ibuku tetap berceloteh dengan tanpa urat malu didengar tetangga, sementara aku sudah berusaha mau untuk dilerai dan diam di kamar dengan ajik, walau tangisku belum bisa reda. Telingaku sangat panas mendengar omongan-omongan ibu, sampai akhirnya aku lari ke dapur untuk mengambil pisau dan mau bunuh diri. Apapun yang ku katakan, ibu selalu menjawabnya dengan asal-asalan. Sekali lagi, hanya demi menyalahkanku. Apa lagi alasannya kalau bukan itu? Semuanya berbanding terbalik.
Aku mengakui bahwa aku durhaka, bahkan dia dengan seringnya dulu mengatakan hal itu kpadaku, dan setahuku saat ini, hal itu tidak baik, tidak pandang berapa usia anakmu, kau tidak berhak mengatai hal buruk kepada anakmu. Dia pun sering mengatai adikku, bahkan ajikku, belog (bodoh). Aku sangat tidak suka ketika mendengarnya, tapi aku sudah bertekad untuk mengalah dan tidak membesarkan masalah.
Bahkan kemarin aku juga menjelaskan, bahwa yang kulakukan itu, tidak bercerita soal helm sampai mood ibuku membaik, nitaku baik. Aku memikirkan suasana hatinya, tapi kenapa dia tidak balas memikirkan suasana hatiku?? Kalau boleh jujur, aku sedang ingin menerapkan pola hidup EGP (emang gue pikirin). Aku lelah dibebani ekspektasi tinggi. Aku lelah menjadi anak pertama yang selalu dihantui masa lalu di tiap langkahku yang baru saat ini. Aku lelah dihantui pikiran bahwa aku bukan contoh yang baik bagi adik-adikku, sehingga ketika mereka berbuat keliru aku berpikir dua kali jika ingin menasehati karena aku takut akan dikatai bahwa aku tidak cukup baik untuk member nasihat. Aku ;e;ah disarankan bekerja disini dan disana. Aku lelah dengan ekspektasi punya uang banyak dengan bekerja X atau Y atau Z. Untuk kali ini, aku berusaha menjalani hidup yang serba santai, karena aku mudah stress. Belum juga tercapai, tapi bahkan orangtua ku membenciku, adik-adikku tidak mempercayaiku, buat apa aku hidup?
Kemarin, saat aku berusaha mengambil pisau, aku dihentikan oleh ajik. Lalu ibuku datang dan menghadangku dengan tubuhnya.
"Neh kal kudiang jani, dot megelut ne gelut jani! Kamu juga! (Nunjuk ajikku) Kamu mau adukan masalah ini ke bli mu?? hah?? Nyen benehne ngelah ne keluarga?? Kamu kebiasaan ngandelin nak len!! Sing taen bise tegas jak keluarga pedidi kene be dadine nawang!! Yen kamu sing bise dadi kepala keluarga, neh cang jani ne dadi kepala keluarga!! Yen sing ade ne bisa memutuskan, neh cang jani ne memutuskan!!"
"Nah, mau diapakan sekarang, mau peluk sini peluk! Kamu juga! Kamu mau mengadukan hal ini ke kakakmu?? hah?? Siapa sebenarnya yang punya keluarga ini?? Kamu kebiasaan mengandalkan orang lain!! Tidak pernah bisa tegas dengan keluarga sensiri beginilah jadinya tau!! Kalau kamu tidak bisa menjadi kepala keluarga, biar saya yang jadi kepala keluarga. Kalau tidak ada yang bisa memutuskan, biar saya sekarang yang memutuskan!!"
Aku, yang masih sesenggukan akan tangis, masih bisa menolak segala omongan ibu, tanpa kata-kata. Ibu sudah sangat keterlaluan. Aku berharap itu hanya emosi sesaat. Tapi, setiap ada pertengkaran, dia selalu mengungkit-ungkit masa lalunya yang aku tidak mengerti antara dia dan ajikku. Dia seakan menyimpan dendam yang terus dikeluarkan ketika dia marah. Tidak bisakah ia mengikhlaskannya?? Aku pun saat ini masih dalam tahap belajar, belajar untuk ikhlas, sabar, lapang dada dan berpikir positif.
Akhirnya, aku pergi ke kamarku lagi, dan ibuku ke kamarnya. Masih saja dia berceloteh. Agara segera usai, aku langsung menghampirinya ke kamar dan memohon maaf di kakinya, seperti yang tidak pernah ku lakukan sebelumnya. Aku ceritakan semua niatku, semua ingatanku, dan aku berusaha memotong ibuku dengan kebenaran yang aku miliki, kebenanran yang membuatku berkata dan bertindak seperti itu.
"Tyangmediolas. Bin jah gen opik kel ngalahin umah. Diolas de baangne tyangmegedi dengan ngabe perasaan kene. Tolong juga ngertiin tyang, seperti tyangberusaha ngertiin ibuk. Bin kejep gen kok buk, tyangsing kel nyusahin ibuk biin, tyangmediolas sajan. Tyang be ne ngelah pelihne, tyang ngidih pelih."
"Saya mohon. Lagi sebentar aja Saya akan meninggalkan rumah. Mohon dengan sangat jangan dikasi Saya pergi dengan perasaan seperti ini. Tolong juga ngertiin saya, seperti saya berusaha mengerti ibu. Lagi sebentar saja kok, saya tidak akan menyusahkan ibu lagi, saya mohon dengan sangat. Saya yang salah, saya minta maaf."
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aku tidak habis pikir. Aku masih tertangis malam itu. Aku bahkan ingin menukar nyawaku. Aku memohon kematian pada Dewi Kali. Aku ingin mati dalam tidurku. Apa gunanya aku hidup? Aku, yang juga mendambakan kasih sayang orangtuaku, adik-adikku, mereka semua tidak ada yang bisa menyayangiku. Tidak harus dengan pelukan, bukan?
Adik-adikku, mereka sangat takut denganku, karena aku serem kalau lagi marah dan emosi (seperti kemarin malam). Bahkan salah satunya memblokir akunku. Waktu mereka kemah atau tidak di rumah, aku selalu menanyakannya, mengkhawatirkan dan ingin tau kondisi mereka. Namun ternyata hal yang sama tidak dilakukan untukku. Mereka mungkin tidak menganggapku penting.
Ajikku? Aku memang selalu membelanya, BUKAN karena dia yang bekerja dan menghasilkan uang, seperti yang selalu dituduhkan ibuku kepadaku. Melainkan karena ajik polos, dia tidak pernah bicara nada tinggi seperti ibuku, dan kadang mendapat balasan omongan yang tidak enak didengar, dari ibuku dan adik-adikku. Tapi, waktu ibuku dulu sudah ketahuan bertindak tidak senonoh, ajikku malah mengataiku sebagai penghancur keluarga yang ia bangun. Apakah aku berniat begitu?? Niatku selalu disalahpahami, bahkan setelah aku jelaskan.
Ibuku, aku kebingungan harus memulai darimana. Aku tidak mengerti, meskipun tau sedikit dari cerita-ceritanya tentang masa lalunya, mengapa ibuku seperti menyimpan dendam pada hidupnya, dan pada ajikku, dan juga padaku. Kami selalu salah di matanya. Aku malas untuk berargumen, jadi aku, setelah 'menyadari' kesalahanku bertahun-tahun lalu, berusaha tidak merespon. Tapi itu tiada guna. Selamanya, ibu akan tetap membenciku. Segala upayaku, aku tau semua itu akan sia-sia. Maka dari itu aku sedikit merespon segala sesuatu di rumah. Aku tidak mau turut campur. Tapi kemarin, aku terseret arus emosi. Aku tidak akan bicara lagi sampai memang waktunya.
Dulu, aku punya cita-cita. Aku ingin mengubah taraf hidupku. Tapi ku pikir, mencari uang saja tidak akan mendatangkan kebahagiaan. Aku lebih memilih untuk bahagia, seberapapun yang aku punya. Aku hanya ingin hidup di antara banyak kasih sayang. Tujuan baru hidupku kali ini adalah...
Aku ingin segera meninggalkan rumah ini, dan orang-orangnya.
Mereka akan datang jika mereka mau. Aku tidak akan sanggup mencari mereka lagi begitu aku berhasil keluar dari rumah ini.