Dear ‘the silent night sky’,
Tadi
kulihat Sang Bulan sekitar pukul 6 sore. Langit masih biru cerah tersapu
sedikit merahnya senja. Dalam hati aku berkata, “Ah, besok pasti indah, seperti
biasa! Aku ingin menikmatinya dari awal! Tapi...” Aku tiba-tiba bersin.
Haahh..flu. Bagaimana bisa aku menikmati indahnya bulan esok hari, ditemani
deburan ombak, membawa kenangan lama. Cuaca sangat tidak bersahabat. Sungguh,
awal Juli yang ‘cukup berkesan’.
Satu bulan,
tepatnya 30 hari kemarin aku sudah kembali berjuang. Menjelang akhir bulan
hatiku gelisah, ternyata ada sebabnya, tapi aku ragu apa benar itu sebabnya. Aku
pernah mengirimi pesan singkat untuk-mu yang bunyinya,
“Bulan
mei-juni aku tunggu. Aku yakin aku sudah berubah. Aku ingin kamu yang
merasakannya. Dan bila tidak kau sambut baik, mungkin ini akhirnya.”
Tanpa ku
sadari, semua orang-orang di dekatku, dan yang dekat denganku, terkena imbas
dari kegalauanku. Maaf. Aku tak berdaya. Pun tak ada maksudku untuk menyinggung
atau membuat kesal, justru akulah yang sedang gelisah. Namun, saat ku ceritakan
padamu, ku tanyakan mengapa, aku malah mendapat jawaban yang ‘menghakimi’.
“Belajarlah
dari hubungan kita yang dulu, yang gak akan pernah kembali.”
Begitu
pesimisnya kata-katamu. Tidak tajam, tapi membekas. Aku semakin gelisah dan
bertanya-tanya dalam hati, “Apa ini akhirnya...?” Padahal, aku masih bertahan
berdiri di atas satu titik yang hampir tak mungkin seseorang bertahan untuk
berdiri. Semua karena apa yang aku yakini, dan apa yang kusebut upaya.
Akhirnya
motorku tiba di tempat tujuan. Tapi sayang sia-sia. Masih ada hari esok untuk
bimbingan dengan dosen. Hal ini langsung menjadi renunganku. Meskipun kita
telah berupaya, dan sekalipun itu terlambat, masih ada kesempatan jika kita mau
mengambilnya. Setiap hari yang baru adalah kesempatan baru. Benar kan?
Ku pacu
lagi motorku ke arah berlawanan. Kini jauh, untuk rejeki kecil. Sesampainya
disana, senyum hangat itu kusambut dengan tangan dan kakiku yang kedinginan. Lalu
aku duduk menunggu. Seperti tak pernah bosan aku menunggu. Aku pernah menunggu
berbagai hal, mulai dari bekal, giliran, gaji, bus, antrian, bahkan sesuatu
yang ‘tidak pasti’. Wah, kau datang! Tapi yang ku tunggu adalah adikmu, dialah
yang membutuhkan bantuanku. Tapi, aku harus tegar! Senyumku biasa melihatmu,
juga karena kondisi kesehatanku yang sedang menurun. Tatapan itu, ntah aku
senang, sedih, marah, atau kecewa, saat melihatnya.
Haah..orang
yang ku tunggu tiba. Sedari tadi, kau memperhatikan kesehatanku, mulai dari
memeriksa suhu badan, telapak tangan dan kaki, sampai menanyakan apa aku sudah
makan dan minum obat atau belum. Perhatian itu, layaknya kau dulu jadi
kekasihku, namun saat ini perhatian itu hanyalah dari ‘seorang kakak’. Ya, kau tetap bersikeras dengan kemauanmu itu,
tanpa memikirkan perasaanku. Apa aku terlalu perasa...? Ya, aku adalah tipe
wanita yang sensitive (baca: perasa).
Tak sengaja
kau tinggalkan ponselmu di atas meja dimana aku menerjemahkan tulisan-tulisan
itu. Ku lihat wallpaper yang
menghiasinya. Ada 2 wajah bahagia yang sedang melihat ke arah kamera. Ya, siapa
lagi? Kau dan dia. Momen beberapa detik itu membuatku kepikiran, bahkan sampai
saat aku menulis ini. Kesalahan apa yang ku perbuat, hingga harus seperih ini
ku jalani hari-hari ku...? Dalam hatiku yang kuat namun rapuh, aku tetap bertanya:
“Is this what I really deserve...?”
Siang tadi,
hawa dingin bertemu teriknya matahari, aku berkendara pulang. Perjalanan yang
tidak sebentar, dan ya, seperti biasa, aku suka melamun dalam perjalanan.
(Tenang, selalu sampai tujuan yang tepat, dengan selamat) Tak sadar ku titikkan
air mata. Aku teringat dirimu. Aku mengingat semua, seperti cuplikan-cuplikan
peristiwa yang telah berlalu. Aku melihat lagi, hari itu, ketika ku temukan
pesan singkat mesra dari seorang wanita, yang menjadi kekasihmu saat ini. Tak
sepatah kata pisah pun terucap dari bibirku saat itu, meski kekecewaan terbaca
jelas di mata, dan raut wajahku. Kau mendua... Aku juga melihat cuplikan
peristiwa saat pesan darimu muncul di layar ponselku, setelah 2 bulan lamanya.
Aku ingat bagaimana kau saat itu menangis di pelukanku, menandakan kerinduan
dan penyesalanmu, sehingga aku mau kembali “mengupayakan
hubungan kita”.
Tapi...
Aku merasa
kecewa. Tidak sepantasnya aku mendapat perlakuan seperti ini. Sakit, hatiku
rasanya diiris tipis. Sebegitu besarnya kah kesalahanku sampai aku mendapat
perlakuan seperti ini? Apa kau merasa apa yang kau lakukan sudah benar?
Mengapa...mengapa saat itu kau tunjukkan bahwa kau masih ingin bersamaku, tapi
kau juga tak ingin melepas dia? Bahkan..aku harus mendengar berita keseriusan
hubungan kalian, langsung dari bibirmu. Apa itu taktikmu untuk “kembali
menjauhkanku”? Aku berjuang, memperlihatkanmu bagaimana aku berkembang selama 2
bulan terakhir. Aku berusaha mengayomimu, memaklumi kondisimu, menghargai
keputusanmu, bahkan memberi masukan saat kau berselisih dengan kekasihmu.
Salahkah..? Apa aku salah lagi..?
Aku tak
tahan lagi. Ya, aku egois, tapi keegoisanmu telah membutakan mata hatimu,
menulikan indra pendengaranmu. Saat ini, kau hanya seseorang yang buta dan tuli. Seberapapun
aku berupaya, kau tidak melihatku. Seberapapun aku meyakinkanmu, tidak kau
dengar. Perasaanku, jangan pernah dianggap sebercanda ini...
Air mataku
semakin deras saat ku ingat malam itu, malam terakhir aku bertemu denganmu, dan
bicara dengan orang tuaku. Tak cukup kah kau membuatku malu di hadapan kedua
orang tuaku..? Tak cukup kah kau membuat kedua orang tuaku berpikir seolah-olah
mereka gagal mendidikku, sehingga berujung hubungan yang berakhir..? tak cukup
kah ku terima ajakanmu ‘bersaudara’ ketika hati ini masih memanggil-manggil
namamu..?
Dilema..hanya
itu yang memenuhi pikiranku. Ada yang bersuara untuk tetap dalam kondisi
seperti ini dan tetap meyakinkan dia; ada pula yang bersuara agar tetap
menjalin komunikasi, tapi jangan terbawa perasaan lama; dan ada pula yang
bersuara “menghilanglah, seperti saat lalu..”
Satu
pintaku, tidak, harapanku, jangan membunuh keyakinan dan harapan seseorang.
Semasih seseorang memiliki harapan, di situlah dia akan berusaha. Aku tak akan
berhenti berharap, aku akan mengupayakan yang terbaik yang aku bisa. Aku
percaya, karena salah seorang kawanku berkata:
“Change doesn’t happen overnight.
It takes time.”
Semoga,
ketika ‘waktu’ itu ‘tiba’, kau tak terlambat menjemputku...
Akhirnya,
sudah ku putuskan!
Selamat
malam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar